Subscribe:

Labels

Jumat, 15 November 2013

Efek Rumah Kaca pada Mobil Murah

Pemicu Cuaca Ekstrim
Penulusuran Tribunnews.com pada berbagai sumber menyebutkan, suhu udara di Jakarta pada tahun 1870 hanya berkisar 26 derajat celcius.

Ini sebanding dengan dinginnya suhu udara di kawasan Puncak Jawa Barat, atau sejuknya temperatur di perbukitan seperti di Batu Malang, Jawa Timur.

Tapi sekarang, seabad lebih kemudian, kota yang dulu bernama Jayakarta ini mengalami lonjakan kenaikan temperatur menjadi rata-rata 32 - 34 tiap harinya.

Bahkan, Jakarta pernah mencetak suhu tertinggi pada saat cuaca ekstrim hingga 37 derajat celcius. Apa pemicunya?

Ditemui secara terpisah, Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Tumpak Hutabarat, mengaku ikut cemas dengan potensi lonjakan suhu di kota berpenduduk terpadat di Indonesia ini.
Apalagi ia melihat belum adanya regulasi yang jelas tentang aturan pembangunan gedung-gedung pencakar langit dengan desain dominan berupa kaca-kaca di semua sisi bangunannya.

Tengok saja, betapa hampir semua gedung bank dan tower atau menara komersial amat dominan menggunakan bahan kaca yang tidak ramah pada pembentukan kesejukan udara karena sifatnya yang memantulkan panas, bukannya meredam atau menyerap.  

"Kalau muncul kecemasan suhu Jakarta bisa mencapai setengah air mendidih (50 derajat celcius), saya kira itu bukan tidak mungkin terjadi," tegas Tumpak. Selain efek rumah kaca, Walhi juga memperkirakan lonjakan suhu Jakarta bakal merangkak naik karena dampak longgarnya kebijakan pemasaran mobil murah.

Seperti diketahui, pemerintah memang melonggarkan produksi dan pemasaran mobil murah seperti dipamerkan di ajang 'Indonesia International Motor Show (IIMS) 2013." Cukup banyak mobil jenis Multi Purpose Vehicle (MPV) yang dibanderol kurang dari Rp 100 juta.
Dengan harga mobil baru semurah itu, Jakarta diyakini akan semakin macet karena merajalelanya mobil murah di jalanan. Emisi gas buang karbondioksida dari knalpot kendaraan makin mengotori udara Jakarta. Suhu udara Jakarta pun terus merangkak naik.

"Ini kebijakan tabrakan antarpejabat. Jokowi (Gubernur Jakarta) maunya transportasi massal, biar mengurangi emisi kendaraan. Tapi Menteri Perindustrian melonggarkan aturan mobil murah. Ya tunggu saja dampaknya," kata Tumpak, seolah melempar warning (peringatan keras). 

Di sisi lain, Jakarta juga dilanda begitu banyak problem polusi yang menyumbang terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim. Semua jenis polusi ada di kota mayoritas warga pendatang ini, mulai polusi udara, polusi suara, pencemaran air, limbah pabrik, limbah rumahtangga dan gedung, cerobong asap pabrik, serta emisi karbon yang dilepas ribuan kendaraan yang mengaspal di jalanan saban hari.

Ia khawatir, jutaan ton polutan yang beterbangan di udara, mencemari air tanah hingga air laut itu bakal jadi bom waktu dan amat berisiko menjadikan Jakarta mengulang pengalaman pahit Pakistan.

Karena kombinasi masalah yang sama, Islamabad (ibukota Pakistan), pernah pernah dilanda cuaca ekstrim dengan suhu lebih dari setengah air mendidih. Persisnya 70,5 derajat celcius pada tahun 2010 lalu.

"Saat itu banyak orang meninggal karena dehidrasi dan tak tahan panas," tuturnya. Pengalaman sama terjadi di sebuah kota di India di tahun yang sama, yang mencetak angka temperatur 47 derajat celcius.

Sementara di Indonesia, dalam catatan Walhi, temperatur tertinggi pernah terjadi Kalimantan Tengah, tepatnya di daerah Pulang Pisau yakni 40 derajat celcius tahun 2012 lalu. Bahkan di tahun yang sama, kota Ketapang warganya tersiksa kenaikan suhu hingga 42 derajat celcius.
Kalau di Jakarta cuaca ekstrim dipicu efek rumah kaca, di Kalimantan pemicunya adalah parahnya kerusakan hutan yang dirambah untuk dieskploitasi kayunya guna kepentingan komersial dan
perumahan.

"Yang pasti, kenaikan suhu daerah lain kan juga mengimbas ke Jakarta dan sebaliknya?" tegasnya.
Sebagai gambaran umum, problem Gas Rumah Kaca (GRK) di Kota Jakarta sendiri bersumber terutama dari energi (pembangkit/pemakaian listrik, transportasi, industri, rumah tangga, usaha komersial) dan limbah (baik limbah padat/sampah kota maupun limbah cair domestik).

2030, Emisi Karbo Naik Lima Kali Lipat
Data yang dilansir Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta menyebutkan, profil emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Kota Jakarta pada tahun 2005 lalu, penyumbang terbesarnya dari sektor transportasi dan pembangkit listrik.
Masing-masing persentasenya sebesar 44,89 persen dan 40,74% persen. Sedangkan sektor industri, sampah, dan rumah tangga persentasenya masing-masing sebesar 5,17 persen,  5,06 persen dan 4,10 persen.

Dari data tersebut, hasil perhitungan emisi GRK dari dua sumber utama adalah sektor transportasi dan pembangkit (pemakaian listrik) masing-masing sebesar 19,61 juta ton dan 17,79 juta ton CO2.
Bila tidak ada antisipasi serius, diperkirakan pada tahun 2030, emisi CO2 tersebut akan melonjak lebih dari lima kali lipat hingga mencapai lebih dari 200 juta ton CO2 mencemari atmosfer ibukota.

Tentunya emisi sebesar itu merupakan sebuah angka yang luar biasa bila hal tersebut tidak ditindaklanjuti. Bisa dibayangkan betapa makin tidak ramah ibukota negeri terhadap warganya sendiri.
Melalui situs Jakarta.go.id, Pemprov DKI Jakarta sendiri mengklaim tidak tinggal diam. Salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Kebijakan lain yakni Surat Keputusan (SK) Gubernur no. 141 yang mendesak semua kendaraan dinas Pemprov Jakarta menggunakan bahan bakar gas ramah lingkungan seperti CNG (Compress Natural Gas).

Ini pula yang telah digunakan moda transportasi TransJakarta (busway). Yang kedua adalah LPG (Liquid Petroleum Gas).

Minimnya Ruang Terbuka Hijau
Fenomena global warming dalam konteks kenaikan suhu udara memang sulit dihindari semua negara, semua kota. Tapi faktor pemicu lokal tak kalah memperparah.
Manager Building Construction Information (BCI) Asia Ashlakul Umam yang dikonfirmasi secara terpisah menuturkan, bahan bangunan berupa kaca sudah saatnya dilarang di Jakarta, karena sifatnya yang memantulkan panas dan bukannya meredam.
Standar ideal, struktur kaca pada tiap gedung harusnya tidak boleh lebih dari 30 persen. Tapi nyatanya banyak gedung mayoritas berkaca karena tampak mentereng dan 'angkuh.'

Sialnya, Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai peredam panas dan penghasil oksigen di Jakarta cuma tersedia tak lebih dari 10 persen dari total wilayah 65 ribu hektar.
Padahal Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Perkotaan mensyaratkan ketersedian RTH minimal 30 persen, terdiri atas 20 persen milik pemerintah dan 10 persen pribadi.
Parahnya lagi, pada tahun 2000 hingga 2005, Jakarta kehilangan 4.000 hektar RTH, terdiri atas 3.500 hektar kawasan resapan air di Jakarta Selatan dan 500 hektar di berbagai wilayah Jakarta
akibat perubahan fungsi lahan.

"Padahal di mana ada ruang terbuka hijau, di situ udaranya lebih sejuk 2 derajat dibanding yang tidak ada pepohonan," tutur Umam kepada Tribunnews.com. Selain penyejuk udara alami, RTH juga menyerap karbondioksida yang dilepaskan kendaraan bermotor. 

Berdasarkan laporan yang dirilis WWF, Climate Change: Implications for Humans and Nature tahun 2007, suhu udara di Indonesia cenderung naik rata-rata 0,3 derajat celsius per tahun.
Jadi bisa dibayangkan, kalau temperatur Jakarta saat ini yang rata-rata 33-34 derajat celcius itu pelan-pelan akan terus merangkak naik, mendekati 50 derajat celcius atau separuh panasnya air mendidih! Bisa jadi lebih, seperti pengalaman Pakistan, terutama kalau problem pemicunya tidak segera diantisipasi.

Meski isu pemanasan global terus menghantui, anehnya aktifitas mengonsumsi bahan bakar fosil, limbah padat dan sebagainya malah terus mengalami lonjakan, semakin pula memperbanyak karbondioksida melayang-layang di atmosfir.
Pada saat yang sama terjadi perambahan hutan dengan alasan mendesaknya kebutuhan perumahan dan produksi pangan yang ujung-ujungnya menyumbang pemanasan global.
Di sisi lain penggunaan bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Hal yang sama terjadi di Indonesia, seiring lonjakan jumlah kendaraan yang mengaspal di jalanan maupun kebutuhan industri.

Untuk diketahui, total konsumsi energi Indonesia selama tahun 2007 sebesar 5,18 EJ. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merinci, konsumsi energi ini berasal dari energi fosil sebesar 95 persen, Hydropower 3,4 persen, panas bumi 1,4 persen, dan lainnya 0,2 perten (data tahun 2003).

Artinya, ketergantungan pada minyak dari perut bumi masih dominan.
Pencemaran lingkungan sulit dibendung. Sebuah riset menyebut Indonesia menjadi negara dengan tingkat polusi udara tertinggi ketiga di dunia. Bank Dunia bahkan memposisikan Jakarta sebagai kota dengan kadar polutan/partikulat tertinggi di jagat ini setelah Beijing, New Delhi dan Meksiko.
Divisi Pengkajian Ozon dan Polusi Udara di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menyebutkan, penyulut pencemaran udara terbesar di Indonesia adalah emisi gas buang dari kendaraan bermotor, yaitu sekitar 85 persen.

"Faktor perawatan kendaraan yang tidak memadai dan pemakaian bahan bakar yang boros, juga cenderung menghasilkan kadar timbal tinggi yang merusak kualitas udara," kata Tubagus Soleh Ahmadi, peneliti dari Walhi Jakarta, saat ditemui secara terpisah.

Peneliti lingkungan, Ir Rusman Sagala MT, lewat makalahnya memaparkan, kalau tahun 2005 volume emisi karbon (CO2e) di Jakarta mencapai 35,09 juta ton, maka diperkirakan pada tahun 2030 mendatang bakal tembus 113,94 juta ton.
Bisa dibayangkan dong, betapa buruknya kualitas udara Jakarta, rusaknya ozon dan gerahnya suhu udara. Aneka penyakit kulit dan gangguan pernafasan seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) menghantui.

Rusman menyebutkan, penyumbang terbesar emisi karbon adalah sektor industri sebesar 29 persen. Secara kasab mata memang mudah dibuktikan, karena Jakarta dikelilingi kota-kota industri. Keluar sedikit dari kota, cerobong asap pabrik mengepul di mana-mana.
Di peringkat kedua adalah limbah rumahtangga 24 persen, disusul gas buang transportasi 20 persen, sektor komersial 15 persen, timbunan sampah 6 persen, emisi lainnya 4 persen dan limbah cair 2 persen.

Rasanya semakin ngeri melihat makin besarnya potensi polutan di masa mendatang bila menilik cepatnya lonjakan jumlah kendaraan bermotor.
Untuk sepeda motornya saja, misalnya. Kalau pada 2005 jumlah sepeda motor yang melenggang di jalanan baru di angka 2,5 juta unit, maka pada 2029 diperkirakan tembus angka 14 juta lebih.
Jumlah mobil yang pada 2005 baru satu juta unit, maka 2029 ditaksir melonjak jadi empat juta unit!

Sementara berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, pada 2009, jumlah kendaraan bermotor mencapai 9.993.867 unit. Angka ini meningkat 15 persen pada  2010 dengan total angka 11.362.396, terdiri atas roda dua sebanyak 8.244.346 unit dan roda empat sebanyak 3.118.050 unit.
Angka ini belum termasuk jumlah angkutan yang melintas dalam satu trayek. Berdasar data Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya angkanya mencapai 859.692 unit.

Padahal panjang jalan di Jakarta cuma 7.650 km. Luas luas hanya jalan 40,1 km atau 0,26 persen dari luas wilayah DKI. Sedangkan pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 persen per tahun.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Royke Lumowa mengingatkan Jakarta bakal macet total alias stuck tak lama lagi, yakni 2014, tahun depan.
"Kalau melihat pertumbuhan kendaraan sekitar 700 per hari, maka kami prediksi 2014 jalan di Jakarta sudah stuck. Kalau tidak ada kebijakan membatasi angka kendaraan tentu akan semakin parah kondisinya," ujar Royke, Senin (1/8/2011) di Polda Metro Jaya kepada pers, termasuk Tribunnews.

Kecuali, bila obsesi transportasi massal ala Gubernur Jukowi bisa segera terwujud dan volume kendaraan bisa direm.
Tapi, lagi-lagi cita-cita ini bertabrakan dengan target kerja Kementerian Perindustrian yang mendorong sebanyak-banyaknya penjualan produk otomotif. Wah, ya repot!

Solusi Gas Rumah Kaca
Karena pemanasan global dipicu oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca yang melayang-layang di atmosfer, maka sumber emisi itu harus ditekan.
Apalagi sumbernya kalau aktivitas manusia yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil seperti pada kendaraan bermotor, juga penggunaan alat elektronik.
Walhi Jakarta meyakini, bila emisi gas rumah kaca tidak ditekan, diperkirakan tidak hanya pemanasan global yang mengintai tapi juga krisis air bersih di Jakarta akibat meningkatnya permukaan air laut yang mengintrusi air tanah serta makin tingginya frekuensi penyebaran penyakit yang ditularkan nyamuk.

"Ini karena meningkatnya suhu membuat masa inkubasi nyamuk makin pendek," kata Tubagus Soleh dari Walhi Jakarta kepada Tribunnews.

Pihaknya menyerukan kampanye memerangi efek rumah kaca, antara lain:
- Menggunakan penerangan listrik seperlunya dengan lampu yang hemat energi.
- Menggalakkan transportasi massal, menekan jumlah mobil pribadi.
-  Kalau perlu, gunakan kendaraan non-motor. Seperti dicontohkan Walikota Bandung, Ridwan Kamil, yang boro-boro mau menunggangi fasilitas mobil dinas yang nyaman, malah memilih gowes, naik sepeda dari dan ke kantor tempatnya bertugas, meski harus bercucuran keringat di tengah siang terik. 
- Moratorium penebangan hutan dan kampanye menanam pohon di setiap rumah.

Mengenai ide menanam pohon di tiap rumah ini, aktris Widyawati amat sepakat. "Coba bayangkan, kalau di depan tiap rumah ada satu pohon besar saja, betapa sumbangsihnya besar dalam menyerap karbon dan menyuplai oksigen buat sesama," timpal  pemain film senior Widyawati Sophiaan.
Karena itu, wanita yang tetap cantik di usia senja ini amat gembira melihat fenomena makin maraknya gaung gerakan go green, isu-isu back to nature, isu ramah lingkungan, dan kampanye sejenis lain.

0 komentar: